9 Distorsi Kognitif, Jangan Sampai Kita Mengalaminya
Distorsi kognitif merupakan suatu istilah psikologi yang menggambarkan kondisi dimana ketika kita memiliki kesalahan dalam logika berfikir yang membuat kita menjadi tidak rasional, melebih-lebihkan sesuatu dan membuat kita menjadi tidak objektif.
Ada banyak jenis dari Distorsi
Kognitif yang biasa terjadi pada manusia. Sembilan diantaranya akan kita bahas
secara jelas di tulisan ini;
1. Black and
White Thinking
Black and white thinking merupakan
pemikiran segalanya atau tidak sama sekali. Dengan pemikiran seperti ini kita
akan memandang dunia dengan hanya kacamata hitam dan putih, atau baik dan buruk
pada sesuatu.
Misalnya saja seorang siswa yang
tiba-tiba untuk pertama kalinya mendapat nilai ulangan matematika yang rendah.
Lalu tiba-tiba ia berpikir dan menganggap diri bodoh hanya karena satu kali
mendapat nilai yang tidak memusakan itu. Begitupun sebaliknya. Ketika untuk
pertama kalinya seorang siswa mendapat nilai ulangan matematika yang tinggi, ia
akan langsung menganggap bahwa dirinya jago dalam matematika.
Contoh tersebut merupakan
pemikira-pemikiran yang tidak objektif. Yang objektif adalah ketika kita telah
menilai secara keseluruhan serangkaian proses-proses kita selanjutnya. Apakah
kita masih mendapat nilai ulangan yang rendah atau berhasil mendapat nilai
tinggi.
2. Should
Statement
Should statement atau pernyataan
harus ini juga merupakan salah satu distorsi kognitif. Pada mulanya mungkin
perkataan-perkataan tersebut terkesan baik. Tapi perlu di ingat kembali apakah
pernyataan-pernyataan harus tersebut membuat kita lebih sering termotivasi atau
bahkan lebih sering merasa terbebani, merasa tertekan, hingga akhirnya membuat
kita menjadi demotivasi.
Pernyataan-pernyataan harus
tersebut perlu kita sadari. Kita tidak bisa melulu selalu kuat, dan bisa
melakukan ini itu. Karena kita bisa saja sekali-kali dalam kondisi yang lemah
dan butuh mengecas energi. Jadi tuntutan
dari “pernyataan harus” ini bisa saja akhirnya membuat kita depresi.
Jadi daripada selalu berkata “Saya
harus”, kita bisa menggantikannya dengan kalimat “Saya akan berusaha melakukan
yang terbaik”.
3. Over Generalisasi
Over generalisasi atau pemikiran
yang suka menggeneralisasi segala sesuatunya. Hal ini banyak ditemui dalam
kehidupan sehari-hari.
Misalnya seorang perempuan yang
pernah diselingkuhi atau dikecewakan oleh pasangannya. Ia akan merasa sangat
sakit hati dan memiliki pemikiran yang menggeneralisasi bahwa semua pria itu
sama saja, semua pria itu hobi selingkuh, dan semua pria itu brengksek.
Padahal jika mau ditelusuri,
banyak juga pria yang diselingkuhi oleh pacar perempuannya. Dan tidak semua
pria jahat, kita harus sama-sama tahu bahwa ada cowok yang baik diluar sana.
Cuman kebetulan aja dia ketemunya sama pria yang jahat, yang berani menyakiti
perasaannya.
4. Filter
Mental
Filter mental atau kecendrungan
kita, hanya memakai kacamata negatif saja. Sehingga membuat kita tidak bisa
melihat hal-hal positif disekitar kita. Karena kita hanya terfokus pada satu
hal negatif dalam hidup yang mendominasi.
Misalnya ada seorang siswa yang tidak
suka belajar matematika. Ia kemudian menganggap bahwa sekolah tidak
menyenangkan, sekolah itu ribet, dan sekolah itu bikiN pusing. Padahal banYA
pelajaran-pelajaran lain yang sebetulnya dia sukai disana. Mungkin pelajaran
olahraga atau seni rupa misalnya. Tapi karena dia memakai filter mental dengan
kacamata negatiF saja. Dia terus sja menyimpulkan bahwa sekolah itu tidak
menyenangkan. Karena ia hanya mengingat pelajaran matematika yang tidak ia
sukai atau memliki pengalaman yang kurang menyenangkan akan belajar matematika
5. Jump to
Conclusion
Jump to conclusion atau langsung
menyimpulkan. Hal ini biasa terjadi kalau kita gampang berasumsi terhadap sesuaatu
tanpa memeriksa dan memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Kita langsung
menyimpulkan sesuatu tanpa ada bukti-bukti kuat yang mendukung asumsi kita.
Misalnya ketika kita mengirim
pesan ke seseorang teman, lalu ia tidak kunjung membalas pesan kita. Kita
langsung mengambil kesimpulan bahwa orang tersebut mengabaikan pesan kita, atau
orang tersebut sedang kesal dengan kita.
Padahal belum tentu. Bisa jadi ia sedang sibuk atau handphone nya
ketinggalan, atau hal-hal lain yang membuat ia tidak bisa melihat pesan kita.
Kita tidak tahu sepenuhnya kebenraannya dan apa yang terjadi pada teman kita.
Hal tersebut bisa membuat kita tidak objektif.
6. Pembesaran
atau Pengecilan
Pembesaran atau pengecilan
terhadap seseuatu terjadi saat kita tidak melihat sesuatu sesuai dengan
porsinya. Kita cenderung membesar-besarkan sesautu atau bahkan
mengecil-kecilkan sesuatu.
Contoh memperbesar-bersarkan
sesuatu. Misalnya kita membuat kesalahan, kemudian kita beranggapan negatif ke
diri kita. Menganggap diri kita seorang yang gagal. Padahal kita baru sekali
membuat kesalahan dan kesalahan itu juga banyak dilakukan orang-orang.
Untuk contoh mengecilkan.
Misalnya teman kita mengalami perundungan, lalu menceritakannya ke kita. Kita
kemudian menganggap hal yang dialami teman kita merupakan sesuatu yang biasa
saja bahkan menganggap teman kita lebay atau mudah terbawa perasaan. Padahal
sebenarnya daia sedang sanag terluka karena masalah perundungan tersebut.
7. Penalaran Emosional
Penalaran emosional terjadi saat
kita membuat keputusan terlalu berlandaskan emosi yang dirasakan dan tidak
mencoba memikirkannya dengan pikiran yang jernih. Selalu melihat sesuatunya
dari sisi emosional saja sehingga seringkali melupakan fakta yang ada.
Misalnya ketika kita diminta
kesediaan oleh sekolah untuk menjadi MC pertama kalinya di suatu acara besar yang
akan diadakan sekolah tersebut. Namun kita sudah merasa cemas duluan, takut gagal,
tidak berani tampil di depan banyak. Dan perasaan tersebut menjadikan kita menyatakan
ketidaksediaan untuk menerima tawaran tersebut. Padahal ketika kita bersedia
untuk menjadi MC di acara tersebut, sebenarnya kita bisa melakukannya dengan
baik melalui proses belajar dan latihan.
8. Labelling
Labelling atau pemberian cap.
Sebenarnya ini merupakan bentuk ekstrim dari overgenalisasi. Pada kesalahan berpikir ini kita tidak hanya
membuat kesimpulan yang negatif, bahkan kita juga dapat memberi suatu predikat negatif
terhadap suatu hal.
Misalnya seseorang berkali-kali
gagal dalam hubungan percintaan. Akibatnya orang tersebut melabeli dirinya
sebagai seseorang yang tidak layak dicintai, atau melabeli dirinya jelek dan
tidak menarik, bahkan menganggap tidak akan ada satu orangpun lawan jenis yang
akan mencintainya.
Ini tentu sangat berbahaya.
Karena hanya satu peristiwa negatif yang didapatkan kita jadi melabeli diri
kita secara negatif.
9. Personalizing
Personalizing atau personalisasi
merupan kesalahan berpikir ketika kita mulai menganggap bertanggung jawab pada
suatu hal negative yang terjadi. Kita kemudian menganggap diri sebagai penyebab
masalah yang terjadi.
Misalnya si A merupakan ketua
panitia dalam suatu acara besar yang diadakan. Saat acara tersebut berlangsung
ternyata diluar dugaan respon peserta tidak merasa puas dengan acara tersebut.
Sehingga si A merasa sangat gagal dan menyalahkan diri sendiri karena
menganggap dia adalah satu-satunya penyebab kegagalan acara tersebut. Padahal
dalam sebuh kepanitiaan suatu acara merupakan hasil kerjasama tim atau semua orang-orang
yang berada dalam kepanitiaan tersebut. Jadi kegagalan dan keberhasilannya
merupakan tanggungjawab bersama. Namun si A menganggap kegagalan merupakan
ketidakbecusan kontribusinya pada acara tersebut.
Orang yang memiliki distorsi
kognitif akan merasa sulit bahagia. Karena pikiran dan perasaan negatif yang
mereka ciptakan sendiri akan membuatnya merasa terus cemas dan mudah bersedih
sehingga bisa saja ujungnya mempengaruhi mental seseorang. Jadi cobalah belajar
berfikir positif dan realistis, serta tidak lupa menikmati hidup kita.
Post a Comment for "9 Distorsi Kognitif, Jangan Sampai Kita Mengalaminya"